Mittwoch, 25. Juni 2014

Sendiri ...



“Dadaku sesak !”; keluh Sukma dengan nafas tersenggal-senggal.


“Menangislah sayang !”; kata Raga sambil memberi pundaknya.


“Menangislah sampai kau merasakan lega, setelah itu kita bisa bercerita kembali”; pinta Raga dengan suara lembut bahkan hampir berbisik di telinga Sukma. Tangannya tak henti mengelus lembut rambut Sukma dengan jari-jemarinya.


Suasana langit di siang itu terlihat mendung, awan-berawan berwarna kelabu. Sudah dipastikan sarat akan air hujan yang akan dicurahkan ke bumi. Para petani menyambut suasana “mendung” dengan bahagia di tengah-tengah musim panas yang cukup menyengat.

Tetapi tidak demikian dengan “mendung” yang dirasakan oleh Sukma, yang saat ini membuat dadanya sesak.


“Ternyata aku tetap sendiri”; ucap Sukma sambil sesekali mengusap hidung dan kedua matanya yang terlihat sembab.

“Kau tidak sendiri, sayangku ! … Kita berdua tak terpisahkan dan tak seorang pun yang bisa memisahkan kita, kecuali Dia yang mencintai kita”; bantah Raga.

“Dadaku masih sesak”; keluh Sukma sambil menangis terseguk-seguk …


Perlahan Raga membimbing Sukma keluar, menghirup udara segar walau dalam suasana mendung. Bayu berhembus cukup keras dari arah perladangan dan cukup membuat “tamparan” bagi Sukma ibarat dhana yang padam seketika tersiram tirta.


“Tariklah nafas sepuluh kali, perlahan dan berulang-ulang !”; pinta Raga.

“Ingat sayangku, bahwa kita tidak sendiri !, Dia selalu berada diantara kita. Dia juga yang menghapus mendung darimu, dari kita semua”; hibur Raga dengan senyum yang tak tergantikan oleh siapa pun.


“Ah … kasihan Sukma ! … karena selalu merasa bahwa ‘mendung’ hanya pantas dia pikul sendiri”; gumam Diri melihat semua yang baru saja terjadi.



Indriati See - HiR, 06.06.2014

Published in Kompasiana

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen