“Dadaku sesak !”; keluh Sukma dengan nafas tersenggal-senggal.
“Menangislah sayang !”; kata Raga sambil memberi pundaknya.
“Menangislah
sampai kau merasakan lega, setelah itu kita bisa bercerita kembali”;
pinta Raga dengan suara lembut bahkan hampir berbisik di telinga Sukma.
Tangannya tak henti mengelus lembut rambut Sukma dengan jari-jemarinya.
Suasana
langit di siang itu terlihat mendung, awan-berawan berwarna kelabu.
Sudah dipastikan sarat akan air hujan yang akan dicurahkan ke bumi. Para
petani menyambut suasana “mendung” dengan bahagia di tengah-tengah
musim panas yang cukup menyengat.
Tetapi tidak demikian dengan “mendung” yang dirasakan oleh Sukma, yang saat ini membuat dadanya sesak.
“Ternyata aku tetap sendiri”; ucap Sukma sambil sesekali mengusap hidung dan kedua matanya yang terlihat sembab.
“Kau
tidak sendiri, sayangku ! … Kita berdua tak terpisahkan dan tak seorang
pun yang bisa memisahkan kita, kecuali Dia yang mencintai kita”; bantah
Raga.
“Dadaku masih sesak”; keluh Sukma sambil menangis terseguk-seguk …
Perlahan
Raga membimbing Sukma keluar, menghirup udara segar walau dalam suasana
mendung. Bayu berhembus cukup keras dari arah perladangan dan cukup
membuat “tamparan” bagi Sukma ibarat dhana yang padam seketika tersiram
tirta.
“Tariklah nafas sepuluh kali, perlahan dan berulang-ulang !”; pinta Raga.
“Ingat
sayangku, bahwa kita tidak sendiri !, Dia selalu berada diantara kita.
Dia juga yang menghapus mendung darimu, dari kita semua”; hibur Raga
dengan senyum yang tak tergantikan oleh siapa pun.
“Ah
… kasihan Sukma ! … karena selalu merasa bahwa ‘mendung’ hanya pantas
dia pikul sendiri”; gumam Diri melihat semua yang baru saja terjadi.
Indriati See - HiR, 06.06.2014
Published in Kompasiana
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen