.
Hofheim im Ried, 14 Agustus 2011
Mon cher
Patrick,
Sebelum
kutulis surat ini, kubaca semua surat yang kau kirim kepadaku 25 tahun yang
lalu. Maafkan daku jika saat itu aku terlalu egois … ! kumerasa bersalah sampai
sekarang. Saat-saat bersamamu seperti baru saja terjadi, setiap kata sayang
yang kau tujukan padaku kembali terngiang ditelingaku, begitu juga dengan
situasi yang sangat mendesak kita tuk berpisah … mataku panas, haru dan pilu,
tak bisa kubendung air mataku ketika kurangkai kata demi kata dalam surat ini.
Tahukah
kau kalau saat itu bukanlah saat yang tepat bagi kita tuk saling bertemu dan
mengenal ?. Setelah ku terima Kartu Pos terakhir darimu dan kau putuskan untuk
tidak datang ke Indonesia, ku rasa langit runtuh menindih tubuhku, sangat berat
bebanku, ku sering terbangun di malam hari … sesak nafasku karena tangis yang
kutahan, di perantauan kumerasa seorang diri, meninggalkan orang tua dan
saudara-saudaraku tuk memulai karyaku.
Mon cher
Patrick,
Saat itu
aku tak punya pilihan. Aku tak bisa memilih antara kau, pekerjaanku yang
pertama dan tanggung jawabku terhadap adik-adik yang masih memerlukan banyak
biaya untuk sekolah mereka. Saat itu mentalku belum siap untuk kehadiranmu.
Yang sangat ku inginkan hanya kunjunganmu ke Bali agar kau bisa melihat
langsung dan mengerti situasi pekerjaanku sambil mengenal Indonesia Tanah Airku
tentunya.
Aku sangat
mengerti jika perbedaan kultur diantara kita seperti bumi dan langit, oleh karena
itu ku merasa selalu jika aku masih seperti „orang asing“ untukmu. Aku sangat
mengerti akan perasaanmu terhadapku, akan cintamu padaku saat itu, merasa
kehilanganku, penyesuaian terhadap pekerjaan barumu di Belanda dan semua stress
yang kau hadapi datang secara bersamaan dengan kepulanganku ke Indonesia.
Akhirnya
ku putuskan untuk tidak mengontakmu lagi, karena ku tak ingin sakit yang
berkelanjutan. Biarpun demikian, ku tak akan pernah melupakanmu, denganmu
kutemukan kembali cintaku.
Mon cher
Patrick,
Bagiku
lamanya masa perkenalan antara dua orang kekasih bukanlah suatu garansi bahwa
kedua orang tersebut akan hidup bersama sampai akhir hayat mereka.
Akhirnya,
setelah kuputuskan hubungan denganmu, aku kembali ke Jakarta … saat itu aku
benar-benar membutuhkan dorongan moral dari orang-tua dan keluarga besarku.
Pada bulan
Maret 1988, ku tingggalkan pekerjaanku di Bali dengan meninggalkan kesan yang
sangat baik terhadap atasan dan kolega kerjaku dan ku kembali ke Jakarta untuk
bekerja di Biro Perjalanan yang cukup besar sehingga aku bisa meniti karierku
sampai pada posisi yang kuinginkan.
Aku
bahagia bisa menemukanmu kembali melalui Facebook, dengan demikian kau bisa
mengenal suami dan ketiga buah hatiku. Mereka sudah kuberitahukan bahwa kau
adalah seseorang yang istimewa bagiku.
Kami
berharap, disuatu saat kita bisa saling mengenal. Kau tak usah kuatir dengan
komunikasi, mereka bisa berbahasa Perancis. Ku tetap berkomunikasi dalam bahasa
Perancis dengan suamiku dan ketiga anak-anakku mempelajarinya juga. Ah … ya …
untukmu juga, bisa mempraktekkan kembali bahasa Jermanmu yang telah lama tidak
dipakai bukan ?
Terlampir
alamat dan telepon rumahku, jika kau berkesempatan tugas di Jerman, mampirlah …
keluargaku akan dengan senang hati menerima kedatanganmu.
Salam
kangen untuk orang tuamu, kedua adik-adikmu Olivier dan Claude …
Je t’embrasse très fort et à bientôt…
Soen dan
peloek sajang darikoe dan keloearga
Indri
PS:
Selamat ya atas gelar doktor yang telah kau raih, suamiku Franz juga
mengucapkan: „Welcome to the Club“
...
.
Karya fiksi di atas diikut sertakan dalam Event Fiksi Surat Cinta Kompasiana dan sudah dibukukan.
.
NB : Untuk membaca hasil karya para
peserta Fiksi Surat Cinta yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke MalamPerhelatan & Hasil Karya Fiksi Surat Cinta [FSC] di Kompasiana.
Published in Kompasiana
Image