“Ayo ! membuat kelompok
yang terdiri dari dua orang !”; begitulah suara teriakan seorang kakak kelas dengan mikrofon di tangan.
Pagi itu udaranya cukup panas, terasa sampai ke ruang Aula dimana kami para
murid baru SMA kelas satu berkumpul. Kami duduk di lantai, sambil bersila
mendengarkan semua petunjuk tentang berlangsungnya pelaksanaan “Masa
Perkenalan” yang akan dilaksanakan selama satu minggu.
Dalam ruang Aula tersebut terdapat kira-kira 240 murid baru. Setelah
mendengar perintah untuk membentuk kelompok, aku sedikit bingung sambil melihat
ke kiri dan ke kanan jika ada seseorang yang mau diajak bergabung. Tiba-tiba
kurasa pundakku disentuh oleh seseorang dari sebelah kanan. aku cepat menoleh.
Oh … senyum itu ! membuatku terpana tuk beberapa detik. Pemuda tersebut langsung
menawarkan diri untuk bergabung denganku. Belum hilang rasa gugupku, dia
langsung mengulurkan tangan dan berkata: “Eko” … “Indri” balasku dengan tingkah
laku sedikit kikuk.
Lalu kami memilih tempat dan duduk bersama. Eko mulai membuka percakapan dan
bertanya kira-kira nama apa yang akan dipakai untuk panggilan kelompok kami. “Intip” kataku
dengan nada blo’on. “Ha ha ha !” tiba-tiba Eko tertawa dan
berkata: “kamu orangnya
lucu In, aku suka !”.
Heh ?! … pikirku: “aku juga suka kamu” … aku hanya tersenyum mendengarnya.
”Oke, kutulis ‘Intip’ di kertas
karton ini ya ! ” kata Eko dengan nada ceria. Kami tidak memerlukan banyak
waktu untuk saling mengenal karena Eko bisa mengimbangi kekuranganku, bicaraku
gagap dan sering Eko cepat menangkap apa yang ingin aku utarakan.
Aku sangat bahagia bisa berteman dengannya. Dengan tinggi 175 cm, bertubuh
atletis, rambut hitam berombak disisir kebelakang, kulit terbakar matahari
seperti seorang olahragawan, … hm … aku suka type pemuda seperti Eko, aku yang
tingginya 165 cm sudah pasti lebih suka memilih teman laki-laki yang lebih
tinggi dariku, … terasa dilindungi dan aku rasa sudah hukum alam apabila postur
seorang laki-laki serba lebih daripada seorang perempuan.
Sering kami saling memergoki apabila kami saling bercuri pandang dan selalu
ditutup dengan senyuman. Oh … kurasa aku mulai menyukainya, ah … entahlah …
kunikmati waktu berjalan, dan pertemanan dengannya.
”Eko, kamu suka olah raga apa ?”; tanyaku
”Aku selalu dalam Team Basket Sekolah”; jawabnya sambil tersenyum
”Aku suka Volleyball dan juga bermain di Team Sekolah”; jelasku
”Hobby kamu yang lainnya apa Ko ?”.“Menulis dan melukis”
”Loh … koq sama !”; jelasku
”Ya bagus dong kalau begitu Indri, kita berdua cocok !”
”He eh …” hanya itu yang keluar dari bibirku.
Satu minggu berlalu, masa perkenalanpun berakhir, dengan was-was kami
menunggu pengumunan penentuan kelas, dan begitu namaku dan nama Eko disebut
bahwa kami berada dalam satu kelas, aku melonjak gembira begitu juga dengan
Eko.
Kelas kami terletak di lantai dua dari Gedung Sekolah peninggalan masa
Belanda tersebut, ruang kelas dengan berjendela lebar mengarah ke kebun sekolah
yang ditumbuhi dengan pohon beringin … benar-benar cantik !
Eko duduk dibelakangku bersama Timo sedangkan aku duduk bersama Ami.
Ada hari-hari dimana guru kami menciptakan suasana yang membosankan,
murid-murid sudah tidak bisa berkonsentrasi, dengan iseng seperti biasa Eko
memainkan rambutku atau menulis kata-kata manis dipunggungku lalu minta aku
menebak kata apa yang baru saja dia tulis. Di atas secarik kertas, kutulis
jawabannya dan kulempar kebelakang. ”Aku suka kamu Indri” kalimat ini berulang
kali tertulis di punggungku.
Waktupun berjalan
dengan cepatnya, pertemananku dengan Eko semakin erat, kami sering bertemu
setelah jam sekolah untuk aktivitas ekstra-kurikuler. Eko masuk dalam Team
Basket dan Volleyball. Sedangkan aku dalam Team Volleyball dan Drumband
Sekolah.
Tak terasa semester pertama hampir berakhir dan seminggu lagi liburan akhir
tahun dimulai.
Perasaanku makin hari makin sedih, dan dengan cepat Eko menangkap apa yang
sedang aku pikirkan.
”Kenapa akhir-akhir ini kamu kelihatan muram, ada apa In ?“
”Aku tidak suka liburan”; jawabku singkat.
”Loh ? … bukannya kamu
bilang, liburan Natal adalah liburan yang paling menyenangkan ?”
”Ya … tetapi tidak lagi !”
”Aha … !”
”Kenapa aha … ?” rupanya Eko mengerti kemana jalan pikiranku.
”Hanya dua minggu In, tidaklah lama”; hiburnya.
”Kamu kemana Ko, liburan Natal nanti ?“
”Minggu pertama di Jakarta dan minggu kedua di Semarang, tengokin Kakek dan
Nenekku”
”Dan kamu In ?”
”Aku tinggal di Jakarta, rumah Orang-tuaku akan
ramai dikunjungi oleh sanak-keluarga karena Ayahku adalah
seseorang yang dituakan oleh sukunya”
”Bahagia dong In, punya keluarga besar, tidak seperti aku” jelas Eko.
”Ah … Eko … selalu berpikir positif”; pikirku. Aku bersyukur
kepadaNya yang telah memberi Eko sebagai teman dan sahabatku.
Hari yang ditunggu-tunggupun tiba.Semua murid bergembira menyambut
hari terakhir sebelum libur hanya aku yang merasa sedih. Ku tak dapat
membayangkan, selama dua minggu aku tidak bisa melihat Eko.
Pada hari terakhir itu, pelajaran bebas, kami banyak beraktivitas di luar
kelas, aku hanya duduk di bangku panjang di depan kelas … tak semangat … hiks.
”Ayo In …
ikut aku !”
”Kemana ?”
„Makan Bakmi disebelah !” sambil menarik
tanganku
”Oh !”… aku terkejut
karena baru pertama kali Eko menggenggam tanganku, dengan perlahan aku berusaha
melepas genggamannya … malu terlihat teman-teman yang lain.
”Ups !”… rupanya Eko
sadar dan tersenyum melihat mukaku yang terlihat … entahlah …
Kami makan bakso bersama sambil ngobrol kebarat dan ketimur dan
sesekali tertawa lucu dengan guyonan yang sering dilontarkan oleh Eko. … Ah …
Eko, aku mengagumimu kataku dalam hati sambil memandang wajahnya seolah-olah
kubelai dengan lembut oleh pandanganku.
Lonceng sekolahpun berbunyi tanda sekolah usai. Terdengar pengumuman dari Kepala Sekolah
yang menggema ke seluruh ruangan kelas dengan ucapan selamat berlibur, selamat
Natal dan Tahun Baru. Kamipun saling bersalaman satu sama
lain.
”Kuantar kau sampai dapat Metro Mini ya In”
”Oke”; jawabku tak
bersemangat.
”Ah … Indri, jangan sedih seperti itu !”; pinta Eko.
”Dua minggu tidaklah lama !”
”Ya … kamu benar Ko !”, aku berusaha
tersenyum.
”Nanti, kukirim kabar ya ! tetapi janji kamu harus cepat membalasnya”; pinta Eko.
”Iya … ”
Kami melihat Mobil Dinas dari Ayahnya Eko memasuki pelataran
parkir Sekolah, Ayah Eko adalah
seorang Perwira Tinggi ABRI dan Eko selalu diantar dan dijemput. Pendidikan
mereka kelihatannya cukup streng terlihat dari pembawaan dan tingkah laku Eko
yang sangat bertanggung jawab, tegas, disiplin tetapi lembut.
Eko melambaikan tangan ke arah sang Ayah sambil memberi isyarat bahwa
dia masih menemaniku menunggu Metro Mini datang.
Akhirnya Metro Mini yang ditunggupun datang, dengan erat kami
saling berjabat tangan dan saling mengucapkan yang terbaik untuk masing-masing.
Aku melompat ke Metro Mini sambil melambaikan tangan ke arah Eko.Kuperhatikan Eko tetap memandang
Metro Mini sampai pada tikungan jalan. … Oh … mulai detik itu aku menghitung
hari.
Minggu pertama liburan tak terasa sudah kulewati dengan membantu aktivitas
rumah tangga Orang-tuaku, … cukup
menyenangkan …
Aku terbangun di tengah malam dengan peluh di sekujur tubuhku, menangis
sejadi-jadinya yang membuat Bunda terbangun.
”Ada apa sayang ?”
”Aku mimpi … Eko datang dengan berlumuran darah lalu aku menghampirinya
sambil menangis. Eko tidak berkata apa-apa dan berusaha menjauh dariku”
”Oh … Bunda, aku takut”
”Itu hanya mimpi nak, ayo kita doakan Eko agar dia sekeluarga selamat dalam
perjalanannya ke Semarang” hibur Bunda sambil memelukku.
Surat yang kutunggu dari Eko tak kunjung datang dan aku berusaha menghibur
diriku dengan berpikir bahwa sirkulasi pos di musim liburan sangatlah sibuk.
Mungkin itulah alasannya.
Dan akhirnya, liburanpun usai. Hari Senin pertama yang
kutunggu-tunggu tiba. Dengan bersemangat ku berangkat ke Sekolah, hm … banyak
bahan cerita yang akan kusampaikan untuk Ekoku.
Metro Mini yang kutumpangi berhenti di Halte Bus depan Sekolah, kulihat
murid-murid dengan wajah ceria saling bercakap-cakap, berteriak karena gembira
atau hanya diam saling menunggu teman.
Aku bergegas menuju ke kelasku, kulihat Timo dan Ami sedang
berbincang-bincang.
”Eh … met pagi Indri !”
”Apa kabar kamu ?”; tanya Ami.
”Eko sudah datang?”; tanyaku tanpa
menjawab pertanyaan Ami.
”Kamu memang kelewatan In !, ditanya koq malah balik bertanya yang lain!”; gurau Ami.
”Pacarmu belum datang !”; kata Timo.
Akhirnya kami hanyut dalam pembicaraan tentang liburan masing-masing sampai
tak terasa waktu berjalan begitu cepat ketika Lonceng tanda masuk berbunyi.
Eko belum juga datang, perasaanku mulai was-was, aku teringat akan mimpiku
dan berdoa dalam hati sambil menghibur diri, mungkin saja arus mudik ke Jakarta
sangat padat sehingga Eko dan keluarga datang terlambat.
Setengah jam kemudian, kelas kami dikejutkan oleh pengumuman dari Kepala
Sekolah bahwa ada Berita Duka dari Eko dan keluarga yang mendapat kecelakaan
dalam perjalanan menuju Semarang. Eko, adik dan orang tua mereka dipanggil oleh
Sang Maha Pencipta pada hari dimana aku bermimpi.
Ami cepat-cepat menggenggam tanganku, tapi tak cukup … kurasa hidupku turut
berakhir, mengapa ? mengapa ini harus terjadi ? … Oh … Gustiku, apa salah kami
?
Cukup lama aku membutuhkan waktu untuk bisa menerima kepergian Eko, kuberusaha
juga dengan menyibukkan diriku dalam aktivitas sosial dimana aku diangkat
sebagai Ketua Seksi Sosial OSIS, menjadi pembimbing pada Masa Perkenalan di
tahun berikutnya yang membuatku teringat kembali akan masa-masa dimana pertama
kali mengenal Eko.
Kututup Album Foto masa SMAku, dan memasukkan foto Eko ketempatnya
kembali sambil berkata:
”Kau kuhadirkan sayangku, pada saat ulang tahun ke 50 SMA kita. Banyak
teman-teman yang tidak mengenalmu lagi, karena hanya 6 bulan kau tinggal
bersama kami. Tetapi untukku, aku tetap mengenalmu, kau kuhadirkan selalu dalam
setiap doaku”.
”Alangkah bahagianya kau yang sudah berada disisi Allah Yang
Maha Kuasa, dimana usiamu saat itu masih muda, belum berbuat banyak kesalahan,
tidak seperti aku … Eko sayang, aku masih tinggal di dunia yang fana ini, oleh
karena itu, kumohon kepadamu agar kau juga selalu mendoakanku dan keluargaku
agar kami selalu berada pada jalan yang lurus sesuai dengan kehendakNya …
Amin.”
~~000~~
Indriati
See – 12.06.2011
Catatan:
Cerita di atas diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh si Penulis sendiri. Nama-nama pelaku
bisa fiktif dan tidak dengan latar belakang kisah yang terjadi di tahun 1979-1980.
Cerita di atas juga ditulis untuk diikut sertakan dalam Event MPK (Malam Prosa
Kolaborasi) - Kompasiana dan sudah dibukukan. Saat itu, mendekati hari DL
(Deadline) kolaborator saya jatuh sakit dan ingin mengundurkan diri. Tak ada
pilihan lain, saya mengambil inisiatif tuk menulis sendiri dengan tetap
membubuhkan nama dari kolaborator saya karena “The show must go on”.