Freitag, 18. Juli 2014

Soen Sajang toek Patrick di Paris

.

Hofheim im Ried, 14 Agustus 2011
 
Mon cher Patrick,

Sebelum kutulis surat ini, kubaca semua surat yang kau kirim kepadaku 25 tahun yang lalu. Maafkan daku jika saat itu aku terlalu egois … ! kumerasa bersalah sampai sekarang. Saat-saat bersamamu seperti baru saja terjadi, setiap kata sayang yang kau tujukan padaku kembali terngiang ditelingaku, begitu juga dengan situasi yang sangat mendesak kita tuk berpisah … mataku panas, haru dan pilu, tak bisa kubendung air mataku ketika kurangkai kata demi kata dalam surat ini.

Tahukah kau kalau saat itu bukanlah saat yang tepat bagi kita tuk saling bertemu dan mengenal ?. Setelah ku terima Kartu Pos terakhir darimu dan kau putuskan untuk tidak datang ke Indonesia, ku rasa langit runtuh menindih tubuhku, sangat berat bebanku, ku sering terbangun di malam hari … sesak nafasku karena tangis yang kutahan, di perantauan kumerasa seorang diri, meninggalkan orang tua dan saudara-saudaraku tuk memulai karyaku.

Mon cher Patrick,

Saat itu aku tak punya pilihan. Aku tak bisa memilih antara kau, pekerjaanku yang pertama dan tanggung jawabku terhadap adik-adik yang masih memerlukan banyak biaya untuk sekolah mereka. Saat itu mentalku belum siap untuk kehadiranmu. Yang sangat ku inginkan hanya kunjunganmu ke Bali agar kau bisa melihat langsung dan mengerti situasi pekerjaanku sambil mengenal Indonesia Tanah Airku tentunya.

Aku sangat mengerti jika perbedaan kultur diantara kita seperti bumi dan langit, oleh karena itu ku merasa selalu jika aku masih seperti „orang asing“ untukmu. Aku sangat mengerti akan perasaanmu terhadapku, akan cintamu padaku saat itu, merasa kehilanganku, penyesuaian terhadap pekerjaan barumu di Belanda dan semua stress yang kau hadapi datang secara bersamaan dengan kepulanganku ke Indonesia.

Akhirnya ku putuskan untuk tidak mengontakmu lagi, karena ku tak ingin sakit yang berkelanjutan. Biarpun demikian, ku tak akan pernah melupakanmu, denganmu kutemukan kembali cintaku.

Mon cher Patrick,

Bagiku lamanya masa perkenalan antara dua orang kekasih bukanlah suatu garansi bahwa kedua orang tersebut akan hidup bersama sampai akhir hayat mereka.
Akhirnya, setelah kuputuskan hubungan denganmu, aku kembali ke Jakarta … saat itu aku benar-benar membutuhkan dorongan moral dari orang-tua dan keluarga besarku.
Pada bulan Maret 1988, ku tingggalkan pekerjaanku di Bali dengan meninggalkan kesan yang sangat baik terhadap atasan dan kolega kerjaku dan ku kembali ke Jakarta untuk bekerja di Biro Perjalanan yang cukup besar sehingga aku bisa meniti karierku sampai pada posisi yang kuinginkan.

Aku bahagia bisa menemukanmu kembali melalui Facebook, dengan demikian kau bisa mengenal suami dan ketiga buah hatiku. Mereka sudah kuberitahukan bahwa kau adalah seseorang yang istimewa bagiku.

Kami berharap, disuatu saat kita bisa saling mengenal. Kau tak usah kuatir dengan komunikasi, mereka bisa berbahasa Perancis. Ku tetap berkomunikasi dalam bahasa Perancis dengan suamiku dan ketiga anak-anakku mempelajarinya juga. Ah … ya … untukmu juga, bisa mempraktekkan kembali bahasa Jermanmu yang telah lama tidak dipakai bukan ?

Terlampir alamat dan telepon rumahku, jika kau berkesempatan tugas di Jerman, mampirlah … keluargaku akan dengan senang hati menerima kedatanganmu.

Salam kangen untuk orang tuamu, kedua adik-adikmu Olivier dan Claude …

Je t’embrasse très fort et à bientôt…

Soen dan peloek sajang darikoe dan keloearga
Indri

PS: Selamat ya atas gelar doktor yang telah kau raih, suamiku Franz juga mengucapkan: „Welcome to the Club“
...
.
Catatan: 
Karya fiksi di atas diikut sertakan dalam Event Fiksi Surat Cinta Kompasiana dan sudah dibukukan.
.

NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Fiksi Surat Cinta yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke MalamPerhelatan & Hasil Karya Fiksi Surat Cinta [FSC] di Kompasiana.
.
Published in Kompasiana
Image

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen