Freitag, 20. Juni 2014

Laut Pun Muntah

.
Tak jenuh melihat deburan ombak
datang dan pergi meninggalkan riak-riak
Sinar surya terlihat segan
menampakkan diri pada pantai nan rupawan
.
Hm … pantai nan rupawan ?
ah … ternyata tidak demikian !
Kecantikannya pudar perlahan
oleh sampah plastik yang berserakan
.
Laut marah sambil menolak
karena plastik bukan penghuni yang layak
Pun tak tampak seekor camar
terbang menukik memangsa ikan
karena air laut tercemar
memaksa mereka tuk pergi meninggalkan …
.
Wahai manusia yang merasa lebih pintar !
tak sanggupkah kalian berpikir sebentar ?
.
Tuk nasib mereka yang terlantar
buanglah sampah kalian yang berserakan
pada tempat yang layak digunakan !
.

Indriati See - Anyer, 13.01.2013

Published in Kompasiana


Indonesiaku ...


Kusudahi sarapan pagiku
dalam damai sempurna
diiringi berita carut-marut
ah selama masih didunia
selamanya akan ada dua
rasa senang dan lawannya
bersahabat dan sebaliknya
memihak dan berseberangan
apalagi bicara perpolitikan
yang pintar justru berdiam
si dungu teriak dan pongah
hiruk-pikuk dan tumpah-riuh
terlampau banyak sok tahu
hanya sedikit yang benar tahu
sejatinya negeri membutuhkan
seorang pemimpin yang handal
yang mengasihi keIndonesiaan
mendahulukan yang lebih utama
ke rakyat daripada ke partainya
ke pembangunan dari kelompok
ke kemakmuran daripada janji
ke Indonesia dari kelompoknya
ke kemakmuran rakyat dari pribadi
pemimpin yang takut kepadaNya
percaya bahwa neraka itu ada

BERHARAP PEMIMPIN PRO RAKYAT

(ad) - 05.06.2014

Mittwoch, 18. Juni 2014

Cinta Pertamaku yang Tragis





Ayo ! membuat kelompok yang terdiri dari dua orang !”; begitulah suara teriakan seorang kakak kelas dengan mikrofon di tangan. Pagi itu udaranya cukup panas, terasa sampai ke ruang Aula dimana kami para murid baru SMA kelas satu berkumpul. Kami duduk di lantai, sambil bersila mendengarkan semua petunjuk tentang berlangsungnya pelaksanaan “Masa Perkenalan” yang akan dilaksanakan selama satu minggu.

Dalam ruang Aula tersebut terdapat kira-kira 240 murid baru. Setelah mendengar perintah untuk membentuk kelompok, aku sedikit bingung sambil melihat ke kiri dan ke kanan jika ada seseorang yang mau diajak bergabung. Tiba-tiba kurasa pundakku disentuh oleh seseorang dari sebelah kanan. aku cepat menoleh. Oh … senyum itu ! membuatku terpana tuk beberapa detik. Pemuda tersebut langsung menawarkan diri untuk bergabung denganku. Belum hilang rasa gugupku, dia langsung mengulurkan tangan dan berkata: “Eko” … “Indri” balasku dengan tingkah laku sedikit kikuk.

Lalu kami memilih tempat dan duduk bersama. Eko mulai membuka percakapan dan bertanya kira-kira nama apa yang akan dipakai untuk panggilan kelompok kami. “Intip” kataku dengan nada blo’on. “Ha ha ha !” tiba-tiba Eko tertawa dan berkata: “kamu orangnya lucu In, aku suka !”.
Heh ?! … pikirku: “aku juga suka kamu” … aku hanya tersenyum mendengarnya.

”Oke, kutulis Intip di kertas karton ini ya ! ” kata Eko dengan nada ceria. Kami tidak memerlukan banyak waktu untuk saling mengenal karena Eko bisa mengimbangi kekuranganku, bicaraku gagap dan sering Eko cepat menangkap apa yang ingin aku utarakan.

Aku sangat bahagia bisa berteman dengannya. Dengan tinggi 175 cm, bertubuh atletis, rambut hitam berombak disisir kebelakang, kulit terbakar matahari seperti seorang olahragawan, … hm … aku suka type pemuda seperti Eko, aku yang tingginya 165 cm sudah pasti lebih suka memilih teman laki-laki yang lebih tinggi dariku, … terasa dilindungi dan aku rasa sudah hukum alam apabila postur seorang laki-laki serba lebih daripada seorang perempuan.

Sering kami saling memergoki apabila kami saling bercuri pandang dan selalu ditutup dengan senyuman. Oh … kurasa aku mulai menyukainya, ah … entahlah … kunikmati waktu berjalan, dan pertemanan dengannya.

”Eko, kamu suka olah raga apa ?”; tanyaku
”Aku selalu dalam Team Basket Sekolah”; jawabnya sambil tersenyum
”Aku suka Volleyball dan juga bermain di Team Sekolah”; jelasku
”Hobby kamu yang lainnya apa Ko ?”. Menulis dan melukis”
”Loh … koq sama !”; jelasku
”Ya bagus dong kalau begitu Indri, kita berdua cocok !
”He eh …” hanya itu yang keluar dari bibirku.

Satu minggu berlalu, masa perkenalan pun berakhir, dengan was-was kami menunggu pengumunan penentuan kelas, dan begitu namaku dan nama Eko disebut bahwa kami berada dalam satu kelas, aku melonjak gembira begitu juga dengan Eko.
Kelas kami terletak di lantai dua dari Gedung Sekolah peninggalan masa Belanda tersebut, ruang kelas dengan berjendela lebar mengarah ke kebun sekolah yang ditumbuhi dengan pohon beringin … benar-benar cantik !
Eko duduk dibelakangku bersama Timo sedangkan aku duduk bersama Ami.

Ada hari-hari dimana guru kami menciptakan suasana yang membosankan, murid-murid sudah tidak bisa berkonsentrasi, dengan iseng seperti biasa Eko memainkan rambutku atau menulis kata-kata manis dipunggungku lalu minta aku menebak kata apa yang baru saja dia tulis. Di atas secarik kertas, kutulis jawabannya dan kulempar kebelakang. ”Aku suka kamu Indri” kalimat ini berulang kali tertulis di punggungku.

Waktu pun berjalan dengan cepatnya, pertemananku dengan Eko semakin erat, kami sering bertemu setelah jam sekolah untuk aktivitas ekstra-kurikuler. Eko masuk dalam Team Basket dan Volleyball. Sedangkan aku dalam Team Volleyball dan Drumband Sekolah.

Tak terasa semester pertama hampir berakhir dan seminggu lagi liburan akhir tahun dimulai.
Perasaanku makin hari makin sedih, dan dengan cepat Eko menangkap apa yang sedang aku pikirkan.
”Kenapa akhir-akhir ini kamu kelihatan muram, ada apa In ?
”Aku tidak suka liburan”; jawabku singkat.
”Loh ? … bukannya kamu bilang, liburan Natal adalah liburan yang paling menyenangkan ?
”Ya … tetapi tidak lagi !”
”Aha … !”
”Kenapa aha … ?” rupanya Eko mengerti kemana jalan pikiranku.
”Hanya dua minggu In, tidaklah lama”; hiburnya.
”Kamu kemana Ko, liburan Natal nanti ?
”Minggu pertama di Jakarta dan minggu kedua di Semarang, tengokin Kakek dan Nenekku”
”Dan kamu In ?”
”Aku tinggal di Jakarta, rumah Orang-tuaku akan ramai dikunjungi oleh sanak-keluarga karena Ayahku adalah seseorang yang dituakan oleh sukunya”
”Bahagia dong In, punya keluarga besar, tidak seperti aku” jelas Eko.
”Ah … Eko … selalu berpikir positif”; pikirku. Aku bersyukur kepadaNya yang telah memberi Eko sebagai teman dan sahabatku.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Semua murid bergembira menyambut hari terakhir sebelum libur hanya aku yang merasa sedih. Ku tak dapat membayangkan, selama dua minggu aku tidak bisa melihat Eko.
Pada hari terakhir itu, pelajaran bebas, kami banyak beraktivitas di luar kelas, aku hanya duduk di bangku panjang di depan kelas … tak semangat … hiks.
”Ayo In … ikut aku !”
”Kemana ?”
„Makan Bakmi di sebelah !” sambil menarik tanganku
”Oh !”… aku terkejut karena baru pertama kali Eko menggenggam tanganku, dengan perlahan aku berusaha melepas genggamannya … malu terlihat teman-teman yang lain.
”Ups !”… rupanya Eko sadar dan tersenyum melihat mukaku yang terlihat … entahlah …
Kami makan bakso bersama sambil ngobrol ke barat dan ke timur dan sesekali tertawa lucu dengan guyonan yang sering dilontarkan oleh Eko. … Ah … Eko, aku mengagumimu kataku dalam hati sambil memandang wajahnya seolah-olah kubelai dengan lembut oleh pandanganku.

Lonceng sekolah pun berbunyi tanda sekolah usai. Terdengar pengumuman dari Kepala Sekolah yang menggema ke seluruh ruangan kelas dengan ucapan selamat berlibur, selamat Natal dan Tahun Baru. Kami pun saling bersalaman satu sama lain.
”Kuantar kau sampai dapat Metro Mini ya In”
”Oke”; jawabku tak bersemangat.
”Ah … Indri, jangan sedih seperti itu !; pinta Eko.
”Dua minggu tidaklah lama !”
”Ya … kamu benar Ko !, aku berusaha tersenyum.
”Nanti, kukirim kabar ya ! tetapi janji kamu harus cepat membalasnya”; pinta Eko.
”Iya … ”
Kami melihat Mobil Dinas dari Ayahnya Eko memasuki pelataran parkir Sekolah, Ayah Eko adalah seorang Perwira Tinggi ABRI dan Eko selalu diantar dan dijemput. Pendidikan mereka kelihatannya cukup streng terlihat dari pembawaan dan tingkah laku Eko yang sangat bertanggung jawab, tegas, disiplin tetapi lembut.
Eko melambaikan tangan ke arah sang Ayah sambil memberi isyarat bahwa dia masih menemaniku menunggu Metro Mini datang.

Akhirnya Metro Mini yang ditunggu pun datang, dengan erat kami saling berjabat tangan dan saling mengucapkan yang terbaik untuk masing-masing. Aku melompat ke Metro Mini sambil melambaikan tangan ke arah Eko. Kuperhatikan Eko tetap memandang Metro Mini sampai pada tikungan jalan. … Oh … mulai detik itu aku menghitung hari.
Minggu pertama liburan tak terasa sudah kulewati dengan membantu aktivitas rumah tangga Orang-tuaku, … cukup menyenangkan …

Aku terbangun di tengah malam dengan peluh di sekujur tubuhku, menangis sejadi-jadinya yang membuat Bunda terbangun.
”Ada apa sayang ?”
”Aku mimpi … Eko datang dengan berlumuran darah lalu aku menghampirinya sambil menangis. Eko tidak berkata apa-apa dan berusaha menjauh dariku”
”Oh … Bunda, aku takut”
”Itu hanya mimpi nak, ayo kita doakan Eko agar dia sekeluarga selamat dalam perjalanannya ke Semarang” hibur Bunda sambil memelukku.

Surat yang kutunggu dari Eko tak kunjung datang dan aku berusaha menghibur diriku dengan berpikir bahwa sirkulasi pos di musim liburan sangatlah sibuk. Mungkin itulah alasannya.

Dan akhirnya, liburan pun usai. Hari Senin pertama yang kutunggu-tunggu tiba. Dengan bersemangat ku berangkat ke Sekolah, hm … banyak bahan cerita yang akan kusampaikan untuk Ekoku.
Metro Mini yang kutumpangi berhenti di Halte Bus depan Sekolah, kulihat murid-murid dengan wajah ceria saling bercakap-cakap, berteriak karena gembira atau hanya diam saling menunggu teman.

Aku bergegas menuju ke kelasku, kulihat Timo dan Ami sedang berbincang-bincang.
”Eh … met pagi Indri !”
”Apa kabar kamu ?”; tanya Ami.
”Eko sudah datang?”; tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Ami.
”Kamu memang kelewatan In !, ditanya koq malah balik bertanya yang lain!”; gurau Ami.
”Pacarmu belum datang !”; kata Timo.
Akhirnya kami hanyut dalam pembicaraan tentang liburan masing-masing sampai tak terasa waktu berjalan begitu cepat ketika Lonceng tanda masuk berbunyi.

Eko belum juga datang, perasaanku mulai was-was, aku teringat akan mimpiku dan berdoa dalam hati sambil menghibur diri, mungkin saja arus mudik ke Jakarta sangat padat sehingga Eko dan keluarga datang terlambat.

Setengah jam kemudian, kelas kami dikejutkan oleh pengumuman dari Kepala Sekolah bahwa ada Berita Duka dari Eko dan keluarga yang mendapat kecelakaan dalam perjalanan menuju Semarang. Eko, adik dan orang tua mereka dipanggil oleh Sang Maha Pencipta pada hari dimana aku bermimpi.
Kurasa langit berputar, dadaku sesak, mataku panas, keringat dingin membasahi telapak tanganku …
Ami cepat-cepat menggenggam tanganku, tapi tak cukup … kurasa hidupku turut berakhir, mengapa ? mengapa ini harus terjadi ? … Oh … Gustiku, apa salah kami ?

Cukup lama aku membutuhkan waktu untuk bisa menerima kepergian Eko, kuberusaha juga dengan menyibukkan diriku dalam aktivitas sosial dimana aku diangkat sebagai Ketua Seksi Sosial OSIS, menjadi pembimbing pada Masa Perkenalan di tahun berikutnya yang membuatku teringat kembali akan masa-masa dimana pertama kali mengenal Eko.

Kututup Album Foto masa SMAku, dan memasukkan foto Eko ke tempatnya kembali sambil berkata:

”Kau kuhadirkan sayangku, pada saat ulang tahun ke 50 SMA kita. Banyak teman-teman yang tidak mengenalmu lagi, karena hanya 6 bulan kau tinggal bersama kami. Tetapi untukku, aku tetap mengenalmu, kau kuhadirkan selalu dalam setiap doaku”.

”Alangkah bahagianya kau yang sudah berada di sisi Allah Yang Maha Kuasa, dimana usiamu saat itu masih muda, belum berbuat banyak kesalahan, tidak seperti aku … Eko sayang, aku masih tinggal di dunia yang fana ini, oleh karena itu, kumohon kepadamu agar kau juga selalu mendoakanku dan keluargaku agar kami selalu berada pada jalan yang lurus sesuai dengan kehendakNya … Amin.”
~~000~~
Indriati See – 12.06.2011

Catatan:
Cerita di atas diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh si Penulis sendiri. Nama-nama pelaku bisa fiktif dan tidak dengan latar belakang kisah yang terjadi di tahun 1979-1980.
Cerita di atas juga ditulis untuk diikut sertakan dalam Event MPK (Malam Prosa Kolaborasi) - Kompasiana dan sudah dibukukan. Saat itu, mendekati hari DL (Deadline) kolaborator saya jatuh sakit dan ingin mengundurkan diri. Tak ada pilihan lain, saya mengambil inisiatif tuk menulis sendiri dengan tetap membubuhkan nama dari kolaborator saya karena “The show must go on”.



Image
Music